FENOMENA ISLAMO PHOBIA

Peristiwa 11 September 2001 telah meluluh lantakkan menara kembar World Trade Center di New York. Dan belum lama ini Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton Jakarta diguncang bom kembali. Menanggapi peristiwa ini, Barat mempunyai berbagai macam opini yang menyudutkan Islam. Salah satunya diwakili oleh tulisan Karen Amstrong yang tertuang dalam bukunya: The Great Transformation, Awal Sejarah Tuhan.

Penghancuran tersebut merupakan epifani buruk yang menyingkapkan     apa yang bisa terjadi ketika kepekaan terhadap kesucian setiap manusia telah musnah. Agama yang semestinya membantu kita menumbuhkan sikap ini sering tampak seperti mencerminkan kekerasan dan keputusasaan zaman kita’

Amstrong menambahkan:

Agama adalah berbela rasa, cinta dan keadilan melampaui egotisme dan kebencian. Kaidah Emas adalah inti dari nilai-nilai Zaman Aksial. Dalam desa global kita ini kita tidak bisa lagi bertahan dengan visi yang parochial dan eksklusif’

Opini yang lebih ekstrim ditulis oleh Sam Harris dalam buku monumentalnya: The End Of  Faith, Terbenamnya Iman, Agama Teror Dan Masa Depan Nalar:

‘Meskipun banyak hal dapat dikatakan untuk mengkritisi iman keagamaan. Berjuta-juta orang di antara kita bahkan sekarangpun sangat bersedia mati demi keyakinan kita yang tidak pada tempatnya dan jutaan yang lebih banyak lagi yang bersedia untuk membunuh demi keyakinan kita.’

Sam Harris menulis;

‘ Tetapi iman adalah penipu yang piawai. Ini dapat dilihat bagaimana semua fenomena luar biasa kehidupan keagamaan. Orang-orang yang melaksanakan kekerasan 11 September pastilah bukan pengecut seperti mereka berulang-ulang digambarkan di media Barat. Juga bukan orang gila dalam arti bahasa. Mereka adalah orang-orang beriman, iman yang sempurna seperti terbukti dan ini pada akhirnya mesti diakui adalah mengerikan’

Pada akhirnya ia menulis kesimpulan:

‘ Malaikat satu-satunya yang perlu kita undang adalah yang berasal dari sifat dasar kita yang lebih baik : nalar, kejujuran dan cinta. Setan satu-satunya yang mesti kita takuti adalah yang mengintai di dalam setiap pikiran manusia: ketidak pedulian, kebenaran, ketamakan, dan iman yang pasti adalah adikarya setan’

Islamo Phobia menghantui Barat. Akhirnya Islam diilustrasikan sebagai agama teror yang akrab dengan pertumpahana darah. Islam identik disebarkan dengan kilatan pedang.

Fenomena itu kini menyeruak di Barat berkaitan  masalah keimanan keagamaan. Baik Karen Amstrong maupun Sam Harris mewakili mayoritas opini masyarakat Barat.

Dan mereka salah dalam menilai Islam. Lantaran sekularisasi telah menghegemoni Barat, terjadilah benturan antara nalar dan agama di dunia modern ini. Mereka mengedepankan analisa dan menjelajah historis tentang keagamaan dan kecenderungan manusia untuk meminggirkan nalar demi keyakinan agama.

Dan solusi yang ditawarkan Barat: kita harus memupuk universalitas dan inklusivitas agama yang mengedepankan simpati, rasa hormat, senasib sepenanggungan, suka menolong, beramal, murah hati, loyalitas dan solidaritas antar sesama umat. Landasan modern yang dibangun mengacu pada nilai-niali simpati dan berbela rasa seperti orang-orang bijak Zaman Aksial ( 900-200 SM ) sehingga akan menjujung tinggi etika dan spiritual berdasar filosofi dan mistisisme timur yang sekuler dan humanis.

Bertolak belakang dengan konsep Barat, menurut pandangan Islam sejatinya dengan membangun sikap partikularitas dan eksklusivitas justru toleransi agama bisa terwujud.                        Lakum Dinukum Waliyadin, Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Islam menanamkan sifat saling menghargai saling menghormati di tataran social,dan tegas dalam masalah aqidah.  Dari argumen itu akan terwujud kesinergian antara rasionalitas dan keyakinan keagamaan. Terjadi harmonisasi antara ilmu dan agama. Wahyu kita posisikan mendasari ilmu selanjutnya menumbuhkan keyakinan keagamaan yang diimplementasikan lewat amal sholeh.

Persoalan fanatisme buta umat Islam ditengarai Barat sebagai sebuah ketololan yang tak termaafkan. Menanggapi masalah ini Islam memaparkan bahwa fanatisme yang berlebihan terhadap golongan untuk merekrut pengikut dan membangun komunitas eksklusif yang dididik dengan taklid buta bukan pemahaman tentang ajaran yang benar. Bila pengungkapan kebenaran dilakukan dengan kelembutan tidak disertai fanatisme buta dan sikap merendahkan dan menjatuhkan orang lain niscaya akan berhasil. Fanatisme buta sebagai sarana diungkapkan sebagai upaya untuk mempertahankan agama dan membela umat Islam padahal sejatinya justru membawa kepada kehancuran dan memperkuat bid’ah dalam golongan tersebut. Akhirnya kondisi menjadi lebih buruk dan tidak bisa menjaga kekonsistenan dalam mempertahankan kebenaran sejati.

Imam Ghazali mengungkapkan:

‘ Sesungguhnya keyakinan yang dianut oleh kebanyakan masyarakat yang tidak lebih dari taklid atau ungkapan dialektik yang diciptakan oleh orang-orang fanatik dan disebarkan oleh mereka itu adalah faktor yang menutup masyarakat dari roda kehidupan yang luas dan pengetahuan akan kebenaran’

Di sini peran ulama yang tulus berdampak besar agar tak terjadi kerusakan aqidah dan sistem pendidikan serta pudarnya sistem Islami dalam kehidupan masyarakat.

Bisa disimpulkan bahwa dengan pemahaman ilmu yang benar akan menumbuhkan semangat keagamaan yang lurus, sehingga tercipta elit intelektual yang berkonsentrasi terhadap riset dan berbagai kajian untuk menyelesaikan polemik dalam dunia Islam dan memahami aturan-aturan Allah. Seluruh potensi bersinergi dan saling melengkapi menghasilakan pengetahuan yang organik dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Ilmuwan sebagai pewaris nabi memiliki tanggung jawab sebagai penegak amar ma’ruf nahy munkar sekaligus sebagai khalifah fil ardy , khalifah Allah di bumi.

Dan tentu saja ilmu yang telah terislamisasi yang bisa dijadikan jalan untuk membangun masyarakat Baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur.

Published in: on Agustus 10, 2009 at 1:06 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

The URI to TrackBack this entry is: https://ammakazi.wordpress.com/2009/08/10/fenomena-islamo-phobia/trackback/

RSS feed for comments on this post.

Tinggalkan komentar