MENYOAL WACANA MULTIKULTURALISME

UNESCO, salah satu organisasi PBB yang concern menangani masalah pendidikan dan kebudayaan menggagas deklarasi toleransi sebagai upaya dalam menyikapi globalisasi dengan semangat compassionate ethic di tengah pluralitas.

Toleransi adalah sikap saling menghormati, saling menghargai, tolong menolong di antara diversitas budaya, ras serta agama. Menurut para penganut paham liberal, keberhasilan toleransi harus ditunjang dengan sikap terbuka, inklusif, dialog serta kebebasan dalam berpikir dan beragama. Dus, paradigma toleransi akan lebih kokoh jika dibangun di atas paham inklusivisme, pluralisme serta multikulturalisme.

Di tengah hiruk pikuk hegemoni globalisasi, sejatinya toleransi tidak sekadar menyentuh area keagamaan, namun lebih bersinggungan pada aspek minoritas yang termarginalkan. Dan, multikulturalisme adalah solusi alternatif bagi problema kekinian. Paham multilkulturalisme memberikan perlindungan terhadap minoritas serta mengidentifikasi komunitas lewat kacamata kebudayaan. Paham ini diadopsi dari pemikiran bangsa Amerika dan Eropa yang tengah mengalami lonjakan kaum imigran yang menganut beragam etnis dan agama. Problematika muncul ketika paham ini dijadikan parameter dalam menilai keberimanan seseorang. Saat ini, bila penghayatan keberagamaan tergolong eksklusif-partikular, akan didiskreditkan sebagai seorang yang intoleran dan tidak pluralis. Dengan serta merta pemahaman semacam ini ditengarai sebagai pemantik berkobarnya konflik keagamaan. Lantaran hanya menjustifikasi agamanya sendiri yang paling benar sekaligus menafikan klaim kebenaran agama lain. Akhirnya memicu disintegrasi antar ras dan umat beragama sehingga tak akan terwujud suasana kondusif dalam harmonisasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

IMPULSE (Institute For Multicultural & Pluralism Studies) didirikan sebagai sebuah lembaga independen yang mengembangkan wacana multikulturalisme dan pluralisme. Salah satu kegiatannya menerbitkan buku ‘Satu Tuhan Seribu Tafsir’ karya Abdul Munir Mulkhan. Dalam buku ini, Abdul Munir merepresentasikan:

Harmoni sosial yang diharapkan bisa dikembangkan melalui atau berdasar cara pandang multikulturalisme hanya mungkin jika kesalehan dan keberimanan diletakkan sebagai praksis dari etika dan empati kemanusiaan. Dari sini pula praktik keberagamaan menjadi penguat keberpihakan sosial tanpa memandang kepenganutan formal keagamaan atau keyakinan.

Jadi siapapun dia, macam apapun profesinya apapun aqidahnya, menurut kaum liberal diwajibkan menerima paham multikulturalisme berdampingan dengan paham modern lainnya. Anehnya, paham ini diamini oleh para aktivis liberal nyaris tanpa kritik dan pada akhirnya dijadikan sebagai salah satu falsafah hidup.

Ironisnya, saat ini fenomena konflik keagamaan selalu dituduhkan pada masalah keyakinan keagamaan. Fundamentalisme dan militanisme terhadap agama ditengarai sebagai biang keladi segala polemik atas nama agama.

Para penyebar virus liberalisme mencari justifikasi terhadap kasus ini. Salah satu cara dengan memberlakukan metode pembelajaran yang berorientasi multikultural, termasuk peningkatan kualitas para guru terhadap pemahaman atas agama-agama sehingga memiliki perspektif multikulturalisme. Bahkan wacana tentang paham ini, semakin menemukan momentumnya . Mulai dari para akademisi, aktivis LSM, cendekiawan, birokrat hingga para ulama memprakarsai serangkaian ceramah, diskusi, work shop, seminar yang mengangkat topik multikulturalisme. Paham inipun diaplikasikan ke dalam sistem politik sehingga diyakini akan diperoleh rumusan kebijakan yang mengembangkan kualitas hidup warga negara selaras dengan kebijakan berwawasan kultural sehingga terjadi pengembangan sosial ekonomi yang merata bagi masyarakat.

Dengan dibukanya kran kebebasan, para pengasong liberalisme semakin gencar menawarkan ide-idenya. Isu-isu kontroversial diangkat, dipaksakan justifikasinya dengan mencocok-cocokkan dalilnya dari nash Al-Qur’an. Terhadap ayat yang diasumsikan mendukung argumennya, maka diinterpretasikanlah secara tekstual (literalis). Namun bila menjumpai ayat-ayat berisikan pelarangan ataupun yang menentang gagasannya, mereka menakwilkan secara kontekstual agar relevan dengan situasi dan kondisi saat ini. Jadi kaum liberal cenderung semau-gue dan selalu mengedepankan prinsip relativisme. Konklusinya, gagasan yang dihasilkan adalah kebenaran relatif yang tidak shahih dan invalid. Alih-alih memperoleh hakekat kebenaran, justru distorsi pemikiranlah yang akan didapat. Disadari atau tidak, mereka telah terjebak dalam aras dekonstruksi pemikiran.

Perlu dipahami, langkah yang ditempuh kaum liberal dalam menindak lanjuti paham multikultuaralisme, seperti ditulis oleh Abdul Munir Mulkhan:

Dari sini mungkin bisa disusun sebuah sintesis yang sinkretik etika kemanusiaan dari semua agama. Sebuah etika baru peradaban dunia global sebagai medan pencarian Tuhan yang mampu mengintegrasikan pemeluk semua agama dan penyandang semua etnis di dalam sebuah komunitas.

Kendati hal itu merupakan solusi, namun sejatinya bukan argumen baru. Sesungguhnya tak lebih dari sekadar copy paste dari konsep ”World Theology“-nya Wilfred C Smith, teori “Global Theology“-nya John Hick, gagasan “Religio Perennis“-nya Fritjof Schuon ataupun postulat “Sciene Sacra“-nya Seyyed Hossein Nasr yang mengejawantah dalam tradisionalisme agama yang berimplikasi pada kesalehan dan mistisisme Timur. Jadi tak ada pemikiran orisinil yang dijajakan para aktivis liberal Indonesia. Mereka cenderung taken for granted terhadap paradigma pemikiran Barat yang sejatinya sangat problematis.

Bila ditelusuri lebih jauh, paham sekularisme dan doktrin theosofi berkelindan di balik paham inklusivisme, pluralisme dan multikulturalisme. Benarkah pengusung liberalisme menjadi kepanjangan tangan dari kelompok Freemason yang selalu menjunjung falsafah humanisme sekuler dan materialisme? Sebuah pertanyaan yang perlu segera dicari konklusinya.

Sejatinya, wacana multikultural adalah sebuah keniscayaan. Di tengah keragaman etnis dan budaya menghadirkan suasana harmonis, empati, saling menghormati, saling bekerja sama sebatas pada aspek sosial bukan pada level aqidah. Jadi, multikulturalisme adalah paham yang gagal dan salah dalam menyikapi diversitas, apalagi dijadikan indikator kesalehan dan keberimanan seseorang. Jangan sampai kita kebablasan di tengah kebebasan yang tak tentu arah.

Akhirul kalam, sebelum meyakini doktrin baru, seyogyanya kita istiqomah, melakukan analisa dan observasi apakah multikulturalisme sesuai dengan aqidah dan syariah Islam. Kita harus cermat mengidentifikasi. Dari jauh terlihat laksana emas berkilau nyatanya hanya rongsokan besi tua yang telah berkarat.

Wallahu A’lam Bi Shawab

Published in: on September 15, 2008 at 8:52 am  Tinggalkan sebuah Komentar