Menyoal Konsep Scientia Sacra

 

Adalah Sayyed Hossein Nasr, cendekiawan muslim yang lantang menggaungkan ide Islamisasi Sains. Nasr merepresentasikan konsep tradisionalisme dalam membendung hegemoni Sains barat modern yang sekular. Konsep tradisionalisme ini mengejawantah dalam pemikiran yang disebut: Scientia Sacra.   Meski mengusung ide Islamisasi Sains bukan berarti Nasr bebas dari kritik.

            Berawal dari keinginan bahwa gagasan tradisionalisme akan mendudukkan kembali pada habitat kesakralan yang sempurna dan absolut. Sejatinya konsep tradisionalisme berakar dari apa yang disebut “Filsafat Perennial”. Tak dipungkiri filsafat ini dipelopori oleh para Master: Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy serta Frithjof Schuon.

            Bila ditelaah lebih jauh konsep Hikmah Abadi ini merujuk pada gagasan dari Agostino Steuco (1497 – 1548) lewat karyanya De Perenni Philosophia. Dan Steuco sangat dipengaruhi oleh Ficino, Pico della Mirandola serta Nicolas Cusa. Merangsek lebih dalam Philosophia Priscorum atau Prisca Theologia ini mengejawantah dalam gagasan Gemistus Pletho, seorang filsuf Byzantium yang merepresentasikan bahwa Zoroaster adalah guru pengetahuan kuno yang sakral yang menjadi cikal bakal Scientia Sacra. Sedang bila diurai lebih dalam,  filsafat ini bermula dari gagasan Plato. Bahkan Ficino menyebut Plato dengan sebutan Divinus Plato. Humanis Reinessance: Pico Della Mirandola menyatakan bahwa sumber dari Scientia Sacra adalah Al Qur’an, filsafat Islam, tradisi Kabbalah dan tradisi Greco Egyptian yang menegaskan hikmah tunggal yang muncul dalam manifestasi berbagai peradaban dan periode sejarah.

            Menurut Nasr, dalam aspek gnostik, filsafat serta sophia : kesejatian yang unik bersumber pada agama yang sejati ( ad-Din al Haq ), yang merupakan ajaran para Nabi semenjak Nabi Adam . Bahkan mengidentikkan Nabi Idris dengan Hermes, sebagai bapak para filsuf. Para filsuf Peripatetik: Al Farabi , Ibn Sina mengakui adanya keterkaitan antara filsafat, kenabian dan wahyu. Sedang Suhrawardi berbicara tentang hikmah yang ada di sisi Tuhan yang identik dengan Filsafat Perennial.

            Jadi konsep Scientia Sacra merujuk pada gagasan tradisonalisme yang merupakan kecenderungan pemikiran baru yang bisa terlihat pada dasawarsa abad ke 20. Namun kaum tradisonalis mengklaim bahwa prinsip – prinsip tersebut telah ada sejak dulu dan tak pernah berubah kecuali sebatas manifestasinya saja.

 

            Perlu dipahami istilah tradisionalisme yang digunakan pegiat tradisionalism tidak seperti yang direpresentasikan oleh para sosiolog, antropolog yang mendefinisikan bahwa tradisi adalah adat istiadat, keyakinan, etika , moral yang diwarisi dari generasi ke generasi. Nasr mengartikan tradisi sebagai realitas ketuhanan yang asli yang diwahyukan pada seluruh manusia dan segenap alam lewat perantaraan rasul, nabi , avatara dan logos dengan berbagai prinsip dan aplikasinya dalam berbagai bidang.

            Jadi , ilmu tradisional berhubungan erat dengan prinsip dasar metafisika yang sebagian besar berelevansi dengan hal-hal sakral. Walhasil, tradisi ini menyatu dalam ilmu suci ( Scientia Sacra ). Menurut Nasr, konsep Scientia Sacra merupakan solusi dari sekularisasi ilmu. Credo Ut Intelligam Et Intelligo Ut Credam ( Iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman ). Ilmu sebagai jalan utama menuju yang Satu. Intinya, sains sakral tidak hanya dimonopoli oleh umat Islam namun dimiliki juga oleh pemeluk Budha, Hindu, Confucius, Taoisme, Majusi, Yahudi , Kristen serta filsafat Yunani Klasik.

            Filsafat perennial yang menjadi cikal bakal dari Scientia Scara  juga dikenal sebagai Tradisi Primordial, Sanata dharma, Sophia Perennis, Philosophia Priscorium, Prisca Thelogia, Vena Philosophia. Yang kesemuanya mempunyai nilai kebenaran abadi dan universal serta termanifestasikan dalam ruang dan waktu.

            Telah jelas, meski mempunyai kesamaan dalam mengkritisi sains sekular namun Scientia Sacra jelas berbeda dengan Islamisasi Sains. Kekeliruan Nasr adalah ketika Sains Sakral dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris dan keunikan adalah milik semua agama. Sedang Islamisasi Sains dibangun atas kebenaran Islam.

            Perlu dipahami, Nasr pada saat menjadi mahasiswa di MIT jurusan matematika , sangat terkesan materi-materi yang diajarkan dosennya: Giorgio de Santillana, Akhirnya mengenalkannya pada Filsafat Perennial yang diajarkan Rene Guenon,  Frithjof Schuon, Titus Buckhart serta Martin Lings. Nasr makin intens mengkaji metafisika tradisional.

 

            Perlu kita cermati, ambisi Nasr merevitalisasi Scientia Sacra yang mengejawantah dalam Hikmah Abadi atau tradisi sebagai respon atas reduksionisme, relativisme dan desakralisasi ilmu yang melanda dunia modern. Harus diwaspadai pada galibnya Perennial Philosophi mengarah pada pluralisme agama. Para penggagas Filsafat Perennial menyandarkan argumennya pada ajaran Ibn Arabi dan Meister Eickhart. Namun pengusung tradisionalism ini salah besar. Ibn Arabi tidak pernah mengungkapkan gagasan berkenaan dengan keragaman agama – agama.

            Bila ditelisik, Nasr tidak konsisten, Ia berupaya menghabisi relativisme, reduksionisme dan sekularisme namun malah fatal terjebak pada bagian dari proses sekularisasi itu sendiri.

Wallahu a’lam bish shawab

 

Published in: on April 21, 2013 at 3:37 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

FENOMENA ISLAMO PHOBIA

Peristiwa 11 September 2001 telah meluluh lantakkan menara kembar World Trade Center di New York. Dan belum lama ini Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton Jakarta diguncang bom kembali. Menanggapi peristiwa ini, Barat mempunyai berbagai macam opini yang menyudutkan Islam. Salah satunya diwakili oleh tulisan Karen Amstrong yang tertuang dalam bukunya: The Great Transformation, Awal Sejarah Tuhan.

Penghancuran tersebut merupakan epifani buruk yang menyingkapkan     apa yang bisa terjadi ketika kepekaan terhadap kesucian setiap manusia telah musnah. Agama yang semestinya membantu kita menumbuhkan sikap ini sering tampak seperti mencerminkan kekerasan dan keputusasaan zaman kita’

Amstrong menambahkan:

Agama adalah berbela rasa, cinta dan keadilan melampaui egotisme dan kebencian. Kaidah Emas adalah inti dari nilai-nilai Zaman Aksial. Dalam desa global kita ini kita tidak bisa lagi bertahan dengan visi yang parochial dan eksklusif’

Opini yang lebih ekstrim ditulis oleh Sam Harris dalam buku monumentalnya: The End Of  Faith, Terbenamnya Iman, Agama Teror Dan Masa Depan Nalar:

‘Meskipun banyak hal dapat dikatakan untuk mengkritisi iman keagamaan. Berjuta-juta orang di antara kita bahkan sekarangpun sangat bersedia mati demi keyakinan kita yang tidak pada tempatnya dan jutaan yang lebih banyak lagi yang bersedia untuk membunuh demi keyakinan kita.’

Sam Harris menulis;

‘ Tetapi iman adalah penipu yang piawai. Ini dapat dilihat bagaimana semua fenomena luar biasa kehidupan keagamaan. Orang-orang yang melaksanakan kekerasan 11 September pastilah bukan pengecut seperti mereka berulang-ulang digambarkan di media Barat. Juga bukan orang gila dalam arti bahasa. Mereka adalah orang-orang beriman, iman yang sempurna seperti terbukti dan ini pada akhirnya mesti diakui adalah mengerikan’

Pada akhirnya ia menulis kesimpulan:

‘ Malaikat satu-satunya yang perlu kita undang adalah yang berasal dari sifat dasar kita yang lebih baik : nalar, kejujuran dan cinta. Setan satu-satunya yang mesti kita takuti adalah yang mengintai di dalam setiap pikiran manusia: ketidak pedulian, kebenaran, ketamakan, dan iman yang pasti adalah adikarya setan’

Islamo Phobia menghantui Barat. Akhirnya Islam diilustrasikan sebagai agama teror yang akrab dengan pertumpahana darah. Islam identik disebarkan dengan kilatan pedang.

Fenomena itu kini menyeruak di Barat berkaitan  masalah keimanan keagamaan. Baik Karen Amstrong maupun Sam Harris mewakili mayoritas opini masyarakat Barat.

Dan mereka salah dalam menilai Islam. Lantaran sekularisasi telah menghegemoni Barat, terjadilah benturan antara nalar dan agama di dunia modern ini. Mereka mengedepankan analisa dan menjelajah historis tentang keagamaan dan kecenderungan manusia untuk meminggirkan nalar demi keyakinan agama.

Dan solusi yang ditawarkan Barat: kita harus memupuk universalitas dan inklusivitas agama yang mengedepankan simpati, rasa hormat, senasib sepenanggungan, suka menolong, beramal, murah hati, loyalitas dan solidaritas antar sesama umat. Landasan modern yang dibangun mengacu pada nilai-niali simpati dan berbela rasa seperti orang-orang bijak Zaman Aksial ( 900-200 SM ) sehingga akan menjujung tinggi etika dan spiritual berdasar filosofi dan mistisisme timur yang sekuler dan humanis.

Bertolak belakang dengan konsep Barat, menurut pandangan Islam sejatinya dengan membangun sikap partikularitas dan eksklusivitas justru toleransi agama bisa terwujud.                        Lakum Dinukum Waliyadin, Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Islam menanamkan sifat saling menghargai saling menghormati di tataran social,dan tegas dalam masalah aqidah.  Dari argumen itu akan terwujud kesinergian antara rasionalitas dan keyakinan keagamaan. Terjadi harmonisasi antara ilmu dan agama. Wahyu kita posisikan mendasari ilmu selanjutnya menumbuhkan keyakinan keagamaan yang diimplementasikan lewat amal sholeh.

Persoalan fanatisme buta umat Islam ditengarai Barat sebagai sebuah ketololan yang tak termaafkan. Menanggapi masalah ini Islam memaparkan bahwa fanatisme yang berlebihan terhadap golongan untuk merekrut pengikut dan membangun komunitas eksklusif yang dididik dengan taklid buta bukan pemahaman tentang ajaran yang benar. Bila pengungkapan kebenaran dilakukan dengan kelembutan tidak disertai fanatisme buta dan sikap merendahkan dan menjatuhkan orang lain niscaya akan berhasil. Fanatisme buta sebagai sarana diungkapkan sebagai upaya untuk mempertahankan agama dan membela umat Islam padahal sejatinya justru membawa kepada kehancuran dan memperkuat bid’ah dalam golongan tersebut. Akhirnya kondisi menjadi lebih buruk dan tidak bisa menjaga kekonsistenan dalam mempertahankan kebenaran sejati.

Imam Ghazali mengungkapkan:

‘ Sesungguhnya keyakinan yang dianut oleh kebanyakan masyarakat yang tidak lebih dari taklid atau ungkapan dialektik yang diciptakan oleh orang-orang fanatik dan disebarkan oleh mereka itu adalah faktor yang menutup masyarakat dari roda kehidupan yang luas dan pengetahuan akan kebenaran’

Di sini peran ulama yang tulus berdampak besar agar tak terjadi kerusakan aqidah dan sistem pendidikan serta pudarnya sistem Islami dalam kehidupan masyarakat.

Bisa disimpulkan bahwa dengan pemahaman ilmu yang benar akan menumbuhkan semangat keagamaan yang lurus, sehingga tercipta elit intelektual yang berkonsentrasi terhadap riset dan berbagai kajian untuk menyelesaikan polemik dalam dunia Islam dan memahami aturan-aturan Allah. Seluruh potensi bersinergi dan saling melengkapi menghasilakan pengetahuan yang organik dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Ilmuwan sebagai pewaris nabi memiliki tanggung jawab sebagai penegak amar ma’ruf nahy munkar sekaligus sebagai khalifah fil ardy , khalifah Allah di bumi.

Dan tentu saja ilmu yang telah terislamisasi yang bisa dijadikan jalan untuk membangun masyarakat Baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur.

Published in: on Agustus 10, 2009 at 1:06 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

ANTARA DANIEL GILBERT DAN IMAM GHAZALI

Ada unsur yang menjadi pembeda antara Barat dan Islam, tidak lain adalah cara pandang tentang sesuatu (world view). Barat sangat menjunjung ratio dan spekulasi filosofis, sedangkan Islam berazaskan wahyu, hadits yang dikombinasikan dengan akal, pengalaman serta intuisi. Pandangan Barat sangat dikotomis, selalu berubah dan terbuka ruang untuk dikritisi sedangkan ajaran Islam bersifat otentik dan final. Tak heran, apabila dalam mengkaji suatu masalah, ide-ide Barat hanya menyentuh hal-hal yang bersifat empiris, tidak menerobos sampai ke relung-relung metafisis. Termasuk pada topik kajian yang mengupas tentang ’makna bahagia’. Apakah sesungguhnya arti bahagia? Leo Nikolaevich Tolstoy, seorang filsuf dan novelis Rusia menulis kata-kata bijak: ‘Jika anda ingin berbahagia, maka berbahagialah’ Namun kita tidak tahu tolok ukur kebahagiaan yang dirasakan setiap orang. Lantaran semua orang mempunyai batasan sendiri tergantung pada situasi, kondisi dan cara masing-masing dalam mendifinisikannya.

Adalah Daniel Gilbert, seorang pakar psikologi di Harvard University. Ia sering mendapat penghargaan baik dalam bidang pengajaran maupun penelitian dalam disiplin ilmunya. Dalam buku ‘Stumbling On Happiness’, ia menulis kiat khusus agar kita menjadi insan yang berbahagia. Dan sebenarnya tak sepadan bila dibandingkan dengan magnum opusnya Imam Ghazali: Alchemy Of Happiness ( Kimmiyah Al Sa’adah ). Kimia ruhani yang mentransformasi kehidupan laiknya proses kimiawi yang mengubah logam biasa menjadi logam mulia. Khazanah ilahiah tersebut terkandung dalam hati para nabi. Dari dua buah buku ini kita semakin mudah membandingkan antara world view Barat dan Islam. Pandangan dunia Barat selalu bermuara pada hal-hal yang relatif, tentu saja jauh berbeda dengan perspektif Islam yang mengupas materi sampai ke akar masalah, dan akhirnya berlabuh pada sesuatu yang absolut: sang khaliq.

Gilbert merumuskan, kebahagiaan adalah pengalaman subyektif yang sulit   dijabarkan bahkan oleh diri kita sendiri. Apalagi  sampai memprediksi kebahagiaan masa depan adalah sebuah persoalan yang teramat pelik yang tak terpecahkan. Untuk membayangkan masa depan yang akan terjadi, kita mengandalkan otak. Di dalam otak beribu-ribu informasi bisa terekam, namun kemampuan otak ada batasnya, bahkan terkadang otak sering menghilangkan memori yang tersimpan meski terkadang penting bagi kita. Hal ini mengakibatkan kita kehilangan detil informasi. Akhirnya cenderung menerima informasi dari luar otak tanpa reserve. Padahal kita mengharapkan kebahagiaan masa depan akan terealisasi seperti yang diidamkan. Akhirnya imajinasi yang muncul merefleksikan sesuatu yang sangat paradoks. Perlu diingat, imajinasi tidak dapat menembus batas masa sekarang. Hal ini lebih disebabkan kita sering membayangkan masa depan seiring dengan asumsi yang terjadi pada saat ini. Jadi kuncinya kita musti cerdas antara mengatur persepsi dan imajinasi. Pada dasarnya, kita sering membayangkan masa depan adalah masa sekarang yang telah dipoles dengan pernik-pernik manfaat dan hal-hal yang lebih baik. Untuk menganalisa masalah ini diperlukan pengalaman. Harus dipahami, pengalaman sering memiliki makna ganda yang bisa diinterpretasikan dengan cara berbeda, kendati sebagian lebih positif dibanding yang lain.

Tahukah anda bahwa otak kita juga merekam sesuatu yang kasat mata. Kolaborasi          antara otak dan mata memungkinkan terjadi keseimbangan antara realitas dan ilusi di luar kesadaran.  Hal ini menyebabkan pandangan kita terhadap kebahagiaan masa depan bisa keliru. Bila pandangan saat ini masih bisa dikoreksi dengan kacamata masa silam, pandangan masa depan tak bisa dikoreksi dengan apapun. Kendati demikian ada satu cara untuk mengatasinya yaitu dengan cara berlatih yang merupakan bagian dari proses pembelajaran. Aspek paling efektif adalah belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman emosional orang lain, kendati sering kita acuhkan. Walau begitu, hasilnya terkadang tak seperti yang kita harapkan. Dan akhirnya satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa: kebahagiaan kita ada di tangan kita sendiri. Ada sebuah formula sederhana yakni menentukan masa depan dengan kemampuan meramal. Tetapi harus diingat, meramal sering membuat kita melamunkan sesuatu yang sangat diidamkan, hingga melambung dan kenyatannya tidak semanis yang kita dambakan. Jadi sejatinya, tak ada rumus sederhana untuk memformulasikan makna kebahagiaan. Secara detil Daniel Gilbert telah memaparkan argumennya. Sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan itu sungguh sangat relatif. Dan semua orang bisa mendefinisikan dan mengaktualisasikan sesuai dengan caranya sendiri.

Sungguh ironis, bila kita bandingkan dengan pandangan Islam, konsep   kimia kebahagiaan yang ditulis sang Hujattul Islam dalam risalahnya.

Perlu disadari, kebahagiaan sejati diperoleh melalui empat elemen: mengenal diri, mengenal Allah, dunia serta akhirat. Andai kita tak bisa mengenal diri , amatlah muskil kita bisa mengenal hal-hal lain. Sejatinya, apakah kita termasuk kategori hewan, setan atau malaikat ? Hewan hanya memuaskan nafsu, makan , tidur dan berkelahi. Sedang setan sibuk mengobarkan tipu daya, kejahatan serta kesesatan. Malaikat senantiasa merenungkan keindahan Allah terbebas dari sifat hewani. Perlu disadari diri kita terbagi atas jazad sebagai bentuk luar dan hati atau ruh manifestasi bentuk dalam.

Al-Ghazzali menguraikan upaya perjuangan batin dalam mengenal diri yakni melihat jazad ibarat kerajaan, jiwa laksana raja dan indera bagai tentara, sedang akal merupakan perdana menterinya, syahwat sebagai pemungut pajak dan amarah ibarat polisi. Syahwat selalu ingin merampas demi kepentingannya, amarah cenderung keras dan kasar, maka keduanya harus ditempatkan di bawah raja cerminan jiwa. Bila syahwat dan amarah menguasai nalar bisa dipastikan jiwa akan runtuh. Bila jiwa memberikan aspek rendah menguasai yang lebih tinggi diibaratkan seorang muslim menyerahkan diri kepada raja kafir yang zalim. Akal berlimpah dengan pengetahuan dan kekuatan sehingga akan bisa menguasai sains dan seni. Lewat konsep kimia kebahagiaan, manusia berusaha menaikkan maqamnya dari tingkatan hewan menjadi malaikat. Manusia sebagai makhluk unggul harus sadar akan ketakberdayaannya, ini akan menjadi kunci pembuka untuk mengenal Allah.

Hadits Nabi Muhammad saw: Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Allah.

Dengan merenungkan sifat dan wujud-Nya manusia akan sampai pada pemahaman sebagian pengetahuan tentang Allah. Lebih daripada itu dengan mengenali penciptaan diri akan memberi pemahaman akan keberadaan Allah. Cinta merupakan benih kebahagiaan, sedang cinta pada Allah bisa dikembangkan lewat jalan ibadah.

Dunia adalah tempat persinggahan para musafir dalam perjalanan ke tempat lain. Selama hidup di dunia manusia harus melindungi dan memelihara jiwanya serta merawat dan mengembangkan jazadnya. Melalui cinta pada Allah serta pengetahuan, jiwa akan terpelihara dan akan hancur bila mencintai selain-Nya. Sedangkan jazad merupakan kuda tunggangan bagi jiwa yang nantinya musnah. Penting diwaspadai dunia cenderung menipu dan memperdayai manusia. Nabi Isa as menggambarkan dunia ibarat wanita tua yang buruk rupa. Walau begitu terdapat beberapa hal yang bisa dibawa seseorang dari dunia sebagai bekal ke alam akhirat yakni ilmu dan amal shaleh.

Bila kita beriman terhadap Al-Qur’an dan Hadits tentu saja tidak akan menafikan konsep nikmat surga dan siksa neraka. Sesungguhnya persoalan utama manusia di dunia adalah menyiapkan diri untuk kehidupan di akhirat kelak. Nalar mengajarkan bahwa akhirat itu ada dengan mempertimbangkan akibat yang terjadi. Keselamatan dunia akhirat terwujud bagi yang menjalankan ajaran Allah. Sungguh sangat merugi bila menukar kebahagiaan abadi dengan dunia. Sementara yang kita miliki di dunia adalah bagian kecil dan kotor. Akhirat adalah dunia ruh yang merupakan pengejawantahan dari keindahan Allah. Sedang kebahagiaan hanya diberikan pada orang yang menggapainya dan tertarik padanya, yang tercurahkan dalam zuhud, ibadah dan perenungan. Ketertarikan pada kebahagiaan ukhrawi tak akan dirasakan oleh orang yang bergelimang dosa dan syahwat duniawi. Dan Allah menjanjikan barang siapa mencari dunia hanya akan mendapat dunia, sedang bagi yang mencari akhirat akan mendapatkan dunia dan akhirat.

Dari paparan di atas tergambar jelas kebahagiaan sejati akan kita raih bila senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kebahagiaan yang digapai bukan hanya duniawi semata melainkan kebahagiaan yang lebih esensial: kebahagiaan  di akhirat nanti.

Islam adalah sebuah agama yang paling lengkap dan final, mengatur kehidupan dunia dan akhirat. Allah telah menciptakan manusia serta melengkapinya dengan akal yang berlimpah dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Nah! Tugas kita  mendayagunakannya untuk meraih kesucian batin yang didambakan setiap insan demi menggapai kebahagiaan hakiki.

Alhasil, manakah yang akan menjadi pilihan kita ?  Argumen kebahagiaan duniawi ala Daniel Gilbert atau konsep kebahagiaan dunia-akhirat versi Imam Ghazzali ?

Wallahu a’lam bi shawab

Published in: on Juli 18, 2009 at 4:20 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

PEMBEBASAN NALAR ATAS AGAMA

Bulan Mei 2009 ini, kita sudah bisa menikmati film ‘Angels & Demons’ yang diadaptasi dari novel trilogi yang ditulis Dan Brown. Film ini mengisahkan terbunuhnya para kandidat Paus oleh kelompok persaudaraan kuno: Illuminati. Dalam sequel petualangan Robert Langdon ini terjadi benturan antara sains dan agama. Para ilmuwan yang tercerahkan (Illuminatus) di satu sisi dan Paus yang mewakili otoritas gereja di pihak lain.

Pada abad pertengahan, di dunia Barat tengah terjadi pergulatan antara nalar dan agama. Nalar adalah refleksi dari rasionalitas yang terbelenggu oleh dogma gereja yang ambigu. Nalar berhasil meminggirkan agama. Dan dunia Barat menjadi tersekularkan. Melewati masa Renaissance, periode pencerahan hingga sampai ke zaman modern ini, iman semakin terbenam dalam kubangan nalar. Barat melihat Tuhan dengan kacamata yang rasionalistik.

Fenomena ini telah dikaji oleh filosof Kristen Jacques Maritain (1882-1973), Barat dan Kristen mengalami krisis yang bermuara pada pengalaman, pemahaman dan penafsiran kehidupan dalam peradaban masyarakat modern. Hal ini mencerminkan kultur Barat yang sesungguhnya. Selanjutnya krisis yang berkaitan dengan pemisahan terhadap agama disebut: Sekularisme.

Krisis sekularisasi ini ditandai dengan lahirnya prinsip akal dan alam. Pengikut paham ini menjunjung kebebasan akal dan meletakkan sifat-sifat Tuhan pada alam. Pada kurun ini, banyak buku yang mengusung tema-tema sekular. Tahun 1778 Jean Jacques Rousseau menulis: “ Kontrak Sosial’ , Voltaire menyusun buku: ‘Agama dan Batas Akal Saja’. Sedang Baruch Spinoza menulis risalah: Ketuhanan dan Politik’.

Banyak cendekiawan sekular memprediksi merebaknya filsafat dan sains Barat menuju fase modern. Selain itu juga fase transisi dari teologi menuju sains. Pada saat digaungkannya Revolusi Perancis, para tokoh Freemason meneriakkan jargon: Liberty, Egality, Fraternity. Mereka menghilangkan garis demarkasi antara kaum borjuis dan alat negara sekaligus menafikan peran agama. Disusul munculnya konsep Friederich Nietzche dalam magnum opus: Zarathustra. Bagi dunia Barat Tuhan telah mati. Akhirnya, Barat menyambut dunia yang merdeka, bebas dari dominasi agama dan Tuhan.

Banyak para pemikir menuangkan gagasannya. Tak kurang dari Rene Descartes, Francis Bacon, Emile Durkheim dan Sigmund Freud yang berkebangsaan Yahudi. Postulat Jean Paul Satre serta ide Karl Marx yang menelorkan konsep agama sebagai candu masyarakat. Saat itu ide-ide sekularisme semakin mengkristal dan tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Beberapa cendekiawan muslim menterjemahkan sekularisme menjadi ‘ al-ilmaniyah’. Dari istilah ini memberi konotasi paham ini bertalian erat dengan ilmu pengetahuan. Tetapi banyak yang mengkritisi bahwa sekularisme tak hanya berhubungan dengan sains namun lebih berkorelasi dengan alam atau dunia.

Kecenderungan terhadap sekularisme menyeruak seiiring munculnya proses sekularisasi dalam ideologi sosial dan politik di Eropa. Terjadi pertarungan pemikiran dari para saintis: Nicolaus Copernicus, Galileo Galilei, Giordano Bruno yang menentang doktrin gereja. Mereka dituduh sebagai pelaku heresi sehingga dihadapkan pada mahkamah inkuisisi yang tragis dan kejam. Di samping terjadi pula perombakan pemikiran dari tokoh-tokoh pengusung metode historis kritis dalam kajian Bible: Baruch Spinoza, John Locke dan lain-lain. Memicu merebaknya hermeneutika sebagai piranti menafsirkan teks Bible.

Sekularisasi timbul dalam kerangka modernisasi, perubahan dari masyarakat agraris menjadi industrialis. Namun ada juga yang menyatakan sekularisasi hanyalah salah satu faktor dari gejala sosial berupa idealisme politik, budaya pop yang menghegemoni terhadap perubahan sosial.

Bila ditelisik lebih jauh, sekularisme lebih menyentuh pada urusan agama. Artinya, terjadi penegasian terhadap nilai-nilai agama dalam kehidupan. Jika diistilahkan dalam bahasa Arab: al-la diniyah. Gagasan ini banyak ditentang oleh kaum sekular yang merepresentasikan sekularisasi tak bertentangan dengan dogma agama, namun sekadar memisahkan agama dari aras politik, ekonomi, sosial, sains dan lain-lain. Paham sekularisme memberi ruang gerak bebas bagi umat beragama dalam keyakinan privat namun tak bersentuhan dengan ruang publik.

Sejarah mencatat, otoritas gereja berperan aktif dalam tumbuh kembangnya proses sekularisasi. Terjadinya kesewenangan gereja dalam keyakinan dan kehidupan. Artinya, kerusakan tatanan kehidupan justru disebabkan oleh para pemuka agama. Pengaplikasian sistem pemerintah Teokrasi dimana kekuasaan mutlak gereja dan agama sebagai sentral menjadi pemantik rusaknya tatanan kehidupan di Eropa saat itu.

Para filosof periode pencerahan melawan arogansi agama dengan menyingkirkan agama yang ditengarai menghambat kemajuan dan peradaban. Agama dimarjinalkan dari kehidupan sosial, etika, kultur, aliran pemikiran serta sistem pemerintahan. Sistem Demokrasi dibangun sebagai alternatif pemerintahan agama. Pemerintahan demokrasi yang sekular, liberal dan pluralis adalah sebuah kemestian agar tak menghasilkan pemerintah depostik dan otoriter. Sepintas wajah demokrasi amat menentramkan: menjunjung HAM, menjamin kebebasan, persamaan dan keadilan. Pemimpin dipilih oleh rakyat untuk rakyat. Sejatinya, demokrasi hanyalah sekadar slogan dan retorika. Lantaran dibangun oleh konsep dikotomis yang rapuh.

Seiiring merebaknya sekularisme di Barat yang mengandung elemen dualisme: antara doktrin agama dan Tuhan vis a vis sekularisme. Tak ayal akan terjadi pemisahan agama dan negara, penghancuran pemikiran yang akan mencerabut pengaruhnya dari negara dan masyarakat.

Dalam peradaban Barat, sekularisme adalah keniscayaan alami dalam konteks peradaban Kristen yang tak memiliki hukum untuk mengatur negara dan masyarakat. Negara dalam konteks Kristen adalah sekular, menyingkirkan agama dari institusi duniawi dan bersikap kritis terhadap agama dengan menempatkan gereja pada batas proporsinya.

Sekularisme di dunia Islam bukan hanya proses namun lebih merupakan paradigma, ideologi dan doktrin yang diyakini keshahihannya, digarap secara sistematis. Era ini terjadi pasca kolonialisasi negeri-negeri muslim oleh bangsa Eropa.

Kasus sekularisme di Imperium Turki Utsmani diteruskan oleh tokoh Freemason: Mustafa Kemal Ataturk dengan program de-islamisasi: Republikanisme, Nasionalisme, Kenegaraan, HAM, Sekularisme serta Revolusionisme. Abdullah Cevdet seorang penggagas Gerakan Turki Muda menyatakan: Yang ada hanya satu peradaban yakni peradaban Eropa. Oleh sebab itu kita harus meminjam peradaban Barat baik bunga mawarnya maupun duri-durinya sekaligus.

Ali Abdur Raziq intelektual Mesir menulis buku ‘Al Islam Wa Ushul al-Hukm’. Ia memaparkan bahwa Islam hanya mengatur ritual ibadah semata, tak ada relevansinya dengan pemerintahan dan politik.

Setelah runtuhnya Kekhilafan Turki Utsmani, Negara Irak dan Syam menghapuskan pula penerapan hukum Islam. Alih-alih proses sekularisai memajukan peradaban Islam, justru Islam semakin luluh-lantak dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Kendati begitu, Negara-negara yang berdiri di atas paham sekular tidak lantas menjadi negara modern yang demokratis, bahkan realitanya tak bisa melampaui kebesaran dan kejayaan kekhalifahan Islamiyah semisal Imperium Turki Utsmani.

Jadi, sejauh ini masihkah kita berharap mengubah keadaan melalui sekularisasi? Pada galibnya, para pengusung sekularisme hanya mendasarkan pada: egoisme, perasaan inferior terhadap hegemoni Barat, pelarian serta kedengkian. Sejatinya, bila kita telisik sekularisasi sebagai perspektif ilmu sosial sulit dipertahankan validitasnya. Masyarakat tak harus sekular untuk menjadi modern. Sedangkan sebagai ideologi tak akan bisa selaras dengan syariat Islam. Bahkan sekularisasi bukan hanya monopoli manusia modern namun telah ada sejak dulu dan terus berevolusi menebarkan racunnya hingga akhir zaman nanti.

Dalam merespons isu sekularisme kaum muslim terbagi kedalam beberapa golongan: Sekularis, pengusung sekularisasi secara radikal: Kemal Ataturk, Thaha Husayn, Ashmawi. Fundamentalis, menolak sekularisasi secara radikal: Sayyid Qutb, al-Mawdudi. Modernis, golongan moderat penjaja sekularisasi: Fazlur Rahman, Muhammad Abduh. Tradisionalis, golongan moderat penentang sekularisme: Al-Qaradhawi, Sayyid Amir Ali.

Solusi menurut perspektif Islam tak lain dengan mengusung islamisasi ilmu: politik, etika, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Namun tak ada salahnya umat Islam memanfaatkan hasil eksperimen Barat, yang baik diambil dan yang bermasalah dibuang dengan dilandasi kekuatan aqidah dan iman.

Pemikiran sekular merupakan urat nadi relativisme historis dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang otentik dan final. Nilai kebenaran Islam adalah universal. Sedang sekularisme bagaikan virus yang menyebar dan menggerogoti nilai-nilai luhur Islam.

Wallahu a’lam bi shawab.

Published in: on Mei 8, 2009 at 10:34 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

MENGUAK TOPENG PARADOKS PLURALISME

Sampai hari ini, isu seputar paham-paham kebebasan semakin kencang dihembuskan oleh para liberalis. Berbagai paham yang diusung semakin menemukan momentumnya terlebih ketika paham tersebut dijadikan sebagai falsafah hidup. Ragam paham itu dibangun atas dasar prinsip paradoks yang problematis. Dan salah satu yang berbahaya dan berdampak mengekskusi agama adalah paham pluralisme.

Belakangan ini, banyak digelar forum diskusi dan dialog membedah wacana pluralisme agama. Hajatan itu diisi oleh tokoh lintas agama di ranah lokal hingga pengkaji multi-agama berkelas internasioanal. Ironisnya, hasil seminar tersebut menggulirkan pemahaman yang rusak dan berindikasi menyelewengkan makna pluralisme agama. Berbagai lembaga peneliti masalah pluralisme dan multikulturalisme juga marak didirikan oleh kelompok yang concern menebarkan ide-ide tersebut. Bahkan berbagai Foundation internasional dengan penuh prestise menganugerahkan bintang kehormatan pada tokoh yang berkompeten sebagai pembaharu pemikiran Islam. Tak kurang dari Nurcholish Madjid yang diusulkan menerima ’Bintang David Freemasonry’ atas usahanya melakukan proses sekularisasi. Belum lama ini, ”Buya” Syafi’i Maarif memperoleh anugerah dari The Board Of Trustees Of The Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) atas komitmennya membimbing umat Islam dalam meyakini dan menerima toleransi serta pluralisme sebagai basis keadilan dan harmoni di Indonesia dan dunia.

Saat ini, isu pluralitas dijadikan agenda utama pemantik konflik antar agama. Selain itu, fenomena pluralisme agama menjadi kenyataan sosial yang harus disikapi oleh masyarakat global di tengah hegemoni sekular liberal. Masyarakat dituntut untuk bisa hidup berdampingan dengan keanekaragaman ras, budaya serta agama dalam satu komunitas di suatu daerah dalam suatu negara. Tentu saja masalah tersebut menghadirkan problem bagi peradaban yang belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi. Akhirnya, para pakar multi etnis-agama dituntut agar bisa menyiasati problematika ini dengan memformulasikan gagasan pluralisme agama. Pencarian titik temu antar agama ini sepintas terlihat menjunjung nilai etika dan kemanusiaan yang luhur. Namun bila ditelisik dengan kacamata yang cermat justru akan mempertontonkan potret aslinya yang buram, sadis dan in-toleran.

Menurut pandangan Islam, ajaran toleransi telah lama diperkenalkan dan mengejawantah dalam sikap saling menghormati antar umat beragama. Toleransi bukanlah pluralisme. Saling menghormati bukan berarti meyakini kebenaran agama lain. Kita boleh bersinergi dengan umat lain sebatas muamalah antar sesama umat, namun tak boleh menyentuh level aqidah. Jadi, setiap agama mempunyai klaim kebenarannya sendiri. Persoalan yang hakiki, bagaimana menyikapi diversitas dan pluralitas di tengah keragaman agama yang ada di dunia ini. Dalam merespons persoalan ini, para peneliti agama mempunyai pisau bedah untuk menganalisa sesuai dengan prinsip-prinsip yang dibangunnya.

Aliran skeptisme berargumen bermacam-macam doktrin agama dan ajaran yang berlainan menunjukkan tak ada satu agamapun yang berhak mengklaim kebenaran. Tak ada satu kriteriapun yang dapat memastikan kebenaran absolut. Pluralitas hanya bisa dijelaskan secara sosiologis, antropologis dan psikologis.

Aliran agnotisme menyatakan kebenaran hanya bisa didekati namun muskil untuk ditemukan.

Aliran relativisme menggagas semua agama adalah sama. Jadi, kita tidak berhak mengklaim kebenaran salah satu agama. Gagasan ini sebenarnya merupakan cetak biru paham pluralisme agama.

Sejatinya, konsep pluralisme agama bisa dikelompokkan menjadi konsep Humanisme Sekular yang dikedepankan oleh Harvey Cox. Konsep Teologi Global yang diusung Wilfred C Smith dan John Hick. Konsep Sinkritisme yang diwakili oleh masyarakat Theosofi dan dimotori oleh Swami Vivekananda. Konsep Perennial Philosophi yang diperkenalkan oleh Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr.

Di antara konsep tersebut, Perennial Philosophi yang ditengarai paling relevan dengan kondisi kekinian. Sebenarnya, gagasan ini milik kaum mistik kuno namun dipoles dengan wajah baru dan dibumbui filsafat modern. Aliran Perennial Philosophi membedakan makna esoteris yang transenden dan makna eksoteris yang mempunyai manifestasi eksternal yang beragam dari hakekat yang satu.

Solusi yang ditawarkan peneliti multi agama justru menelorkan konflik dan ketegangan antar agama. Akhirnya berakibat fatal dan berpotensi membahayakan kehidupan keagamaan. Doktrin pluralisme agama telah menjadi agama baru dengan serta merta telah menyatu dengan gerakan politik, ekonomi dan militer yang berkedok globalisasi.

Bila dicermati, doktrin pluralisme agama sesungguhnya memuat unsur paradoks. Postulat semua agama dan aliran kepercayaan pada hakekatnya menuju puncak yang sama. Konsekuensi logisnya kaum pluralis harus mengakomodir semua orang tanpa terkecuali diperlakukan sama sebagai bagian dari masyarakat pluralis. Realitanya mereka lupa atau sengaja melupakan diri, yang terjadi mereka memusuhi dan tidak mengakomodir kelompok atau gerakan yang menentang paham tersebut. Pada galibnya, pengusung pluralisme menghendaki tatanan masyrakat yang non-pluralis. Jadi, bisakah pemuja paham ini dikategorikan sebagai pluralis sejati? Alih-alih menjadi pluralis, bahkan sebenarnya mereka telah menggerus prinsipnya sendiri, yang bila terus diyakini secara obyektif akan menjadi bumerang dengan meluluh-lantakkan bangunan konsepnya lantaran harus mengakomodir siapa saja termasuk yang anti pluralisme yang dinilai brutal dan kejam. Jadi, pluralisme agama merupakan paham yang tidak mempunyai nilai kebenaran. Prinsip ini mengandung konflik internal. Padahal bila kita konsekwen menganut prinsip tersebut, suka atau tidak suka harus menganut pula penghapusan prinsip tersebut.

Tak salah bila pluralisme agama diklasifikasikan sebagai paham pendangkalan aqidah yang setiap saat laksana bom waktu akan memporak-porandakan keberlangsungan agama-agama.

Akhirul kalam, paham pluralisme agama berpotensi menjagal eksistensi agama. Tak berlebihan kiranya bila upaya yang bertujuan menyelesaikan konflik antar agama akan berdampak positif jika kita mampu memposisikan agama pada garis orbitnya tanpa ada proses mereduksi dan merelativisasi.

Wahai umat, relakah kita bila suatu saat nanti memeluk agama Islam hanya tinggal sebuah utopia ? Wallahu A’lam Bi Shawab

Published in: on April 11, 2009 at 5:47 am  Comments (1)